Peranan Pendidikan Seni Budaya
Ditulis oleh FalsBurgers
Wednesday, 07 July 2004
Terakhir Diperbaharui Wednesday, 06 May 2009
Pendidikan Seni Budaya diberikan di sekolah karena keunikan
perannya yang tak mampu diemban oleh mata pelajaran
lain. Keunikan tersebut terletak pada pemberian pengalaman
estetik dalam bentuk kegiatan berekspresi/berkreasi dan
berapresiasi melalui pendekatan: “belajar dengan
seni,” “belajar melalui seni” dan
“belajar tentang seni”.Pendidikan Seni
Budaya memiliki sifat multilingual, multidimensional, dan
multikultural. Multilingual bermakna pengembangan kemampuan
mengekspresikan diri secara kreatif dengan berbagai
cara dan media seperti bahasa rupa, bunyi, gerak, peran dan
berbagai perpaduannya. Multidimensional bermakna
pengembangan beragam kompetensi meliputi konsepsi
(pengetahuan, pemahaman, analisis, evaluasi), apresiasi, dan
kreasi dengan cara memadukan secara harmonis unsur estetika,
logika, kinestetika, dan etika. Sifat multikultural
mengandung makna pendidikan seni menumbuhkembangkan
kesadaran dan kemampuan apresiasi terhadap beragam
budaya Nusantara dan mancanegara. Hal ini merupakan wujud
pembentukan sikap demokratis yang memungkinkan
seseorang hidup secara beradab serta toleran dalam masyarakat
dan budaya yang majemuk. Pendidikan Seni Budaya
memiliki peranan dalam pembentukan pribadi peserta didik
yang harmonis dengan memperhatikan kebutuhan
perkembangan anak dalam mencapai multikecerdasan yang
terdiri atas kecerdasan intrapersonal, interpersonal, visual
spasial, musikal, linguistik, logik matematik, naturalis
serta kecerdasan adversitas (AQ), kreativitas (CQ), spiritual dan
moral (SQ).
Definisi KecerdasanC.P. Chaplin (1975) memberikan pengertian
kecerdasan sebagai kemampuan menghadapi dan
menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan
efektif. Sementara itu, Anita E. Woolfolk (1975) mengemukan
bahwa menurut teori lama, kecerdasan meliputi tiga
pengertian, yaitu : (1) kemampuan untuk belajar; (2) keseluruhan
pengetahuan yang diperoleh; dan (3) kemampuan untuk
beradaptasi dengan dengan situasi baru atau lingkungan pada
umumnya.Memang, semula kajian tentang kecerdasan hanya
sebatas kemampuan individu yang bertautan dengan
aspek kognitif atau biasa disebut Kecerdasan Intelektual
yang bersifat tunggal, sebagaimana yang dikembangkan oleh
Charles Spearman (1904) dengan teori “Two
Factor”-nya, atau Thurstone dengan teori “Primary
Mental Abilities”-nya. Dari kajian ini,
menghasilkan pengelompokkan kecerdasan manusia yang dinyatakan dalam
bentuk Inteligent Quotient (IQ), yang dihitung berdasarkan
perbandingan antara tingkat kemampuan mental (mental age)
dengan tingkat usia (chronological age), merentang mulai
dari kemampuan dengan kategori Ideot sampai dengan
Genius (Weschler dalam Nana Syaodih, 2005). Istilah IQ
mula-mula diperkenalkan oleh Alfred Binet, ahli psikologi dari
Perancis pada awal abad ke-20. Kemudian, Lewis Terman dari
Universitas Stanford berusaha membakukan tes IQ yang
dikembangkan oleh Binet dengan mempertimbangkan norma-norma
populasi sehingga selanjutnya dikenal sebagai tes
Stanford-Binet.Selama bertahun-tahun IQ telah diyakini
menjadi ukuran standar kecerdasan, namun sejalan dengan
tantangan dan suasana kehidupan modern yang serba kompleks,
ukuran standar IQ ini memicu perdebatan sengit dan
sekaligus menggairahkan di kalangan akademisi, pendidik,
praktisi bisnis dan bahkan publik awam, terutama apabila
dihubungkan dengan tingkat kesuksesan atau prestasi hidup
seseorang. Kecerdasan AdversitasKecerdasan
adversitas(AQ, Adversity Quotient) adalah kecerdasan yang
dimiliki seseorang dalam mengatasi kesulitan dan sanggup
bertahan hidup. Dengan AQ, seseorang seperti diukur
kemampuannya dalam menghadapi setiap persoalan hidup agar
tidak putus asa. Penemuan Paul G. Stolzt, Ph.D ini sudah
mendapat legitimasi pula dari hasil temuan psikolog social
Amerika, David mc. Cleland, mengenai kebutuhan berprestasi,
yakni The Need for Achievement (N-Ach). Bahkan Sclotz
berkesimpulan bahwa IQ dan EQ tidak lagi memadai untuk
meraih sukses. Karena itu, pasti ada factor lain berupa
motivasi, dorongan dari dalam serta sikap pantang menyerah.
Faktor itu kemudian disebut Adversity Quotient.Dalam
bukunya itu, Sclotz membagi manusia ke dalam 3 tipe, yaitu
1. Quitters(mereka yang berhenti). Orang jenis ini berhenti di
tengah proses pendakian, gampang putus asa, mudah
menyerah.2. Campers(pekemah). Tidak mencapai puncak,
merasa puas dengan yang telah dicapai.kilah mereka,
“Segini saja sudah cukup, ngapain capek-capek.”
Orang ini lebih banyak jumlahnya dibanding quitters. Mereka
menduga apa yang telah dicapai merupakan kesuksesan
akhir. Padahal tidak demikian sebenarnya. Sebab masih banyak
potensi mereka yang belum tergali.3.
Climbers(pendaki). Mereka yang selalu optimis, melihat peluang-peluang,
melihat celah, melihat harapan di balik
keputus-asaan, selalu bergairah untuk maju. Titik kecil yang
oleh orang lain dianggap sepele, bagi para climbers
dianggap sebagai cahaya kesuksesan. Dalam teori psikologi,
Sclotz menempatkan climbers ini pada piramida puncak
hierarki kebutuhan yang disebiut dalam teori Maslow sebagai
aktualisasi diri. Dengan semangat Al Matin, kita mesti
berani membunuh sifat-sifat pengecut yang bersarang dalam
pikiran (mind) dan jiwa, sebab ini hanya akan menghambat
keberhasilan. Untuk apa kita takut, sebab langit dan bumi
dimana kita bagian darinya adalah kepunyaan Allah dan dia
telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang(Ar-rahmah) (QS
Al An’am(6):12). Artinya bahwa Tuhan tidak akan
pernah membiarkan kita. Tebaran kasih sayangnya senantiasa
menyelimuti kita. Menyertai setiap perjalanan kita,
sehingga tidak ada alasan untuk takut menjalani hidup ini.
Prof. Dr. Hamka mengatakan, “Jangan takut, sebab
yang tidak pernah memanjatlah yang tidak pernah jatuh.
Jangan takut gagal, sebab yang tidak pernah agal hanyalah
orang yang tidak pernah mencoba melangkah. Jangan takut
salah, sebab orang dengan kesalahan yang pertama, kita
dapat menambah pengetahuan untuk mencari jalan yang benar
pada langkah kedua.” Itulah sebabnya,
berhentilah merasa lelah dan hiduplah dengan penuh
vitalitas. Hancurkanlah kemalasan dan perasaan gagal dalam
hidup. Ingatlah kata-kata Muhammad Iqbal,”Tuhan
adalah kekuatan. Berikan karakter dan imajinasi yang sehat,
maka kita dapat membangun kembali dunia yang penuh dosa dan
penderitaan ini menjadi surga
www.falsburgers.biz
http://falsburgers.biz Powered by: Joomla! Generated: 11
January, 2010, 19:41
nyata.” Kecerdasan SpiritualMengutip lima
karakteristik orang yang cerdas secara spiritual menurut Roberts A.
Emmons, The Psychology of Ultimate Concerns: (1) kemampuan
untuk mentransendensikan yang fisik dan material;(2)
kemampuan untuk mengalami tingkat kesadaran yang
memuncak;(3) kemampuan untuk mensakralkan pengalaman
sehari-hari; (4) kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber
spiritual buat menyelesaikan masalah;(5) kemampuan
untuk berbuat baik. Dua karakteristik yang pertama sering
disebut sebagai komponen inti kecerdasan spiritual. Kita yang
merasakan kehadiran Tuhan atau makhluk ruhaniyah di
sekitarnya mengalami transendensi fisikal dan material.Ia
memasuki dunia spiritual. Ia mencapai kesadaran kosmis yang
menggabungkan dia dengan seluruh alam semesta. Ia
merasa bahwa alamnya tidak terbatas pada apa yang disaksikan
dengan alat-alat indrianya. Sanktifikasi pengalaman
sehari-hari, ciri yang ketiga, terjadi ketika kita
meletakkan pekerjaan biasa dalam tujuan yang agung. Konon, pada abad
pertengahan seorang musafir bertemu dengan dua orang pekerja
yang sedang mengangkut batu-bata. Salah seorang di
antara mereka bekerja dengan muka cemberut, masam, dan
tampak kelelahan. Kawannya justru bekerja dengan ceria,
gembira, penuh semangat. Ia tampak tidak kecapaian. Kepada
keduanya ditanyakan pertanyaan yang sama, Apa
yangsedang Anda kerjakan? Yang cemberut menjawab, Saya
sedang menumpuk batu.Yang ceria berkata, Saya sedang
membangun katedral! Yang kedua telah mengangkat pekerjaan
menumpuk bata pada dataran makna yang lebih luhur.
Ia telah melakukan sanktifikasi. Orang yang cerdas secara
spiritual tidak memecahkan persoalan hidup hanya secara
rasional atau emosional saja. Ia menghubungkannya dengan
makna kehidupan secara spiritual. Ia merujuk pada
warisan spiritual seperti teksteks Kitab Suci atau wejangan
orang-orang suci- untuk memberikan penafsiran pada situasi
yang dihadapinya, untuk melakukan definisi situasi.
Kecerdasan EmosionalDulu pernah ada pandangan bahwa faktor
dominan yang menyebabkan seseorang sukses dalam masyarakat,
dunia usaha/industri, dan pemerintahan adalah
kecerdasan intelektual. Pengalaman dan hasil penelitian
membuktikan bahwa faktor dominan penyebab kesuksesan
sesorang adalah kecerdasan spiritual dan emosioanal. Daniel
Goleman, seorang ahli psikologi berpendapat bahwa IQ
hanya menyumbangkan 20% terhadap keberhasilan seseorang, selebihnya
ditentukan oleh faktor-faktor lain dimana EQ
termasuk di dalamnya (Suyanto dan Djihad Hisyam (2000:9)
Daniel Goleman adalah salah seorang yang
mempopulerkan jenis kecerdasan manusia lainnya yang dianggap
sebagai faktor penting yang dapat mempengaruhi
terhadap prestasi seseorang, yakni Kecerdasan Emosional,
yang kemudian kita mengenalnya dengan sebutan
Emotional Quotient (EQ). Menurut Goleman (2002 : 512),
kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang
mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage
our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan
emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion
and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri,
pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan
sosial. Patricia Patton (Suyanto dan Djihad Hisyam, 2000:9) EQ
meliputi sifat-sifat atau karakter manusia seperti : (1)
self-awareness (kesadaran); (2) mood management (manajemen
suasana hati), yaitu optimis, tahan uji, sabar dan
sebagainya; self motivation (motivasi diri); impulse control
(pengendalian insting atau ledakan-ledakan diri); (5) people
skills (ketrampilan). Sementara itu Arif Rachman (Widayati
2002:68,70) menyatakan bahwa hal-hal yang perlu mendapat
perhatian dalam EQ (Emotional Quotient) adalah : (1)
kontrol diri : kendali akal, perasaan, iman(2) kemampuan
bekerja sama : saling pengertian, tenggang rasa, pemaaf,
menerima kekurangan(3) love (cinta ) : jujur, berbagi
(kegembiraan/kesedihan), perhatian Jadi kemampuan untuk
mempunyai kreativitas tidak hanya dimiliki oleh orang yang
mempunyai bakat seni. Setiap orang dapat mewujudkan
gagasan kreativitas. Seni budaya yang diajarkan di sekolah
adalah sarana untuk merangsang agar siswa mempunyai
keinginan untuk berusaha keras untuk mewujudkan gagasannya
atau ide-idenya. Melalui pendidikan seni budaya, maka
siswa diarahkan untuk menghargai hasil karya seni budaya,
dapat memberikan tanggapan, dapat mengembangkan
kreativitas baik dalam bidang seni maupun bidang lainnya,
serta mempunyai kepekaan indrawi. Ini semua sebagai bekal
siswa pada saat ia kelak terjun dalam kehidupan
bermasyarakat.
www.falsburgers.biz
http:/
No comments:
Post a Comment