Friday, February 25, 2011

kumpulan


Peranan Pendidikan Seni Budaya
Ditulis oleh FalsBurgers
Wednesday, 07 July 2004
Terakhir Diperbaharui Wednesday, 06 May 2009
Pendidikan Seni Budaya diberikan di sekolah karena keunikan perannya yang tak mampu diemban oleh mata pelajaran
lain. Keunikan tersebut terletak pada pemberian pengalaman estetik dalam bentuk kegiatan berekspresi/berkreasi dan
berapresiasi melalui pendekatan: “belajar dengan seni,” “belajar melalui seni” dan
“belajar tentang seni”.Pendidikan Seni Budaya memiliki sifat multilingual, multidimensional, dan
multikultural. Multilingual bermakna pengembangan kemampuan mengekspresikan diri secara kreatif dengan berbagai
cara dan media seperti bahasa rupa, bunyi, gerak, peran dan berbagai perpaduannya. Multidimensional bermakna
pengembangan beragam kompetensi meliputi konsepsi (pengetahuan, pemahaman, analisis, evaluasi), apresiasi, dan
kreasi dengan cara memadukan secara harmonis unsur estetika, logika, kinestetika, dan etika. Sifat multikultural
mengandung makna pendidikan seni menumbuhkembangkan kesadaran dan kemampuan apresiasi terhadap beragam
budaya Nusantara dan mancanegara. Hal ini merupakan wujud pembentukan sikap demokratis yang memungkinkan
seseorang hidup secara beradab serta toleran dalam masyarakat dan budaya yang majemuk. Pendidikan Seni Budaya
memiliki peranan dalam pembentukan pribadi peserta didik yang harmonis dengan memperhatikan kebutuhan
perkembangan anak dalam mencapai multikecerdasan yang terdiri atas kecerdasan intrapersonal, interpersonal, visual
spasial, musikal, linguistik, logik matematik, naturalis serta kecerdasan adversitas (AQ), kreativitas (CQ), spiritual dan
moral (SQ).
Definisi KecerdasanC.P. Chaplin (1975) memberikan pengertian kecerdasan sebagai kemampuan menghadapi dan
menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif. Sementara itu, Anita E. Woolfolk (1975) mengemukan
bahwa menurut teori lama, kecerdasan meliputi tiga pengertian, yaitu : (1) kemampuan untuk belajar; (2) keseluruhan
pengetahuan yang diperoleh; dan (3) kemampuan untuk beradaptasi dengan dengan situasi baru atau lingkungan pada
umumnya.Memang, semula kajian tentang kecerdasan hanya sebatas kemampuan individu yang bertautan dengan
aspek kognitif atau biasa disebut Kecerdasan Intelektual yang bersifat tunggal, sebagaimana yang dikembangkan oleh
Charles Spearman (1904) dengan teori “Two Factor”-nya, atau Thurstone dengan teori “Primary
Mental Abilities”-nya. Dari kajian ini, menghasilkan pengelompokkan kecerdasan manusia yang dinyatakan dalam
bentuk Inteligent Quotient (IQ), yang dihitung berdasarkan perbandingan antara tingkat kemampuan mental (mental age)
dengan tingkat usia (chronological age), merentang mulai dari kemampuan dengan kategori Ideot sampai dengan
Genius (Weschler dalam Nana Syaodih, 2005). Istilah IQ mula-mula diperkenalkan oleh Alfred Binet, ahli psikologi dari
Perancis pada awal abad ke-20. Kemudian, Lewis Terman dari Universitas Stanford berusaha membakukan tes IQ yang
dikembangkan oleh Binet dengan mempertimbangkan norma-norma populasi sehingga selanjutnya dikenal sebagai tes
Stanford-Binet.Selama bertahun-tahun IQ telah diyakini menjadi ukuran standar kecerdasan, namun sejalan dengan
tantangan dan suasana kehidupan modern yang serba kompleks, ukuran standar IQ ini memicu perdebatan sengit dan
sekaligus menggairahkan di kalangan akademisi, pendidik, praktisi bisnis dan bahkan publik awam, terutama apabila
dihubungkan dengan tingkat kesuksesan atau prestasi hidup seseorang. Kecerdasan AdversitasKecerdasan
adversitas(AQ, Adversity Quotient) adalah kecerdasan yang dimiliki seseorang dalam mengatasi kesulitan dan sanggup
bertahan hidup. Dengan AQ, seseorang seperti diukur kemampuannya dalam menghadapi setiap persoalan hidup agar
tidak putus asa. Penemuan Paul G. Stolzt, Ph.D ini sudah mendapat legitimasi pula dari hasil temuan psikolog social
Amerika, David mc. Cleland, mengenai kebutuhan berprestasi, yakni The Need for Achievement (N-Ach). Bahkan Sclotz
berkesimpulan bahwa IQ dan EQ tidak lagi memadai untuk meraih sukses. Karena itu, pasti ada factor lain berupa
motivasi, dorongan dari dalam serta sikap pantang menyerah. Faktor itu kemudian disebut Adversity Quotient.Dalam
bukunya itu, Sclotz membagi manusia ke dalam 3 tipe, yaitu 1. Quitters(mereka yang berhenti). Orang jenis ini berhenti di
tengah proses pendakian, gampang putus asa, mudah menyerah.2. Campers(pekemah). Tidak mencapai puncak,
merasa puas dengan yang telah dicapai.kilah mereka, “Segini saja sudah cukup, ngapain capek-capek.”
Orang ini lebih banyak jumlahnya dibanding quitters. Mereka menduga apa yang telah dicapai merupakan kesuksesan
akhir. Padahal tidak demikian sebenarnya. Sebab masih banyak potensi mereka yang belum tergali.3.
Climbers(pendaki). Mereka yang selalu optimis, melihat peluang-peluang, melihat celah, melihat harapan di balik
keputus-asaan, selalu bergairah untuk maju. Titik kecil yang oleh orang lain dianggap sepele, bagi para climbers
dianggap sebagai cahaya kesuksesan. Dalam teori psikologi, Sclotz menempatkan climbers ini pada piramida puncak
hierarki kebutuhan yang disebiut dalam teori Maslow sebagai aktualisasi diri. Dengan semangat Al Matin, kita mesti
berani membunuh sifat-sifat pengecut yang bersarang dalam pikiran (mind) dan jiwa, sebab ini hanya akan menghambat
keberhasilan. Untuk apa kita takut, sebab langit dan bumi dimana kita bagian darinya adalah kepunyaan Allah dan dia
telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang(Ar-rahmah) (QS Al An’am(6):12). Artinya bahwa Tuhan tidak akan
pernah membiarkan kita. Tebaran kasih sayangnya senantiasa menyelimuti kita. Menyertai setiap perjalanan kita,
sehingga tidak ada alasan untuk takut menjalani hidup ini. Prof. Dr. Hamka mengatakan, “Jangan takut, sebab
yang tidak pernah memanjatlah yang tidak pernah jatuh. Jangan takut gagal, sebab yang tidak pernah agal hanyalah
orang yang tidak pernah mencoba melangkah. Jangan takut salah, sebab orang dengan kesalahan yang pertama, kita
dapat menambah pengetahuan untuk mencari jalan yang benar pada langkah kedua.” Itulah sebabnya,
berhentilah merasa lelah dan hiduplah dengan penuh vitalitas. Hancurkanlah kemalasan dan perasaan gagal dalam
hidup. Ingatlah kata-kata Muhammad Iqbal,”Tuhan adalah kekuatan. Berikan karakter dan imajinasi yang sehat,
maka kita dapat membangun kembali dunia yang penuh dosa dan penderitaan ini menjadi surga
www.falsburgers.biz
http://falsburgers.biz Powered by: Joomla! Generated: 11 January, 2010, 19:41
nyata.” Kecerdasan SpiritualMengutip lima karakteristik orang yang cerdas secara spiritual menurut Roberts A.
Emmons, The Psychology of Ultimate Concerns: (1) kemampuan untuk mentransendensikan yang fisik dan material;(2)
kemampuan untuk mengalami tingkat kesadaran yang memuncak;(3) kemampuan untuk mensakralkan pengalaman
sehari-hari; (4) kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber spiritual buat menyelesaikan masalah;(5) kemampuan
untuk berbuat baik. Dua karakteristik yang pertama sering disebut sebagai komponen inti kecerdasan spiritual. Kita yang
merasakan kehadiran Tuhan atau makhluk ruhaniyah di sekitarnya mengalami transendensi fisikal dan material.Ia
memasuki dunia spiritual. Ia mencapai kesadaran kosmis yang menggabungkan dia dengan seluruh alam semesta. Ia
merasa bahwa alamnya tidak terbatas pada apa yang disaksikan dengan alat-alat indrianya. Sanktifikasi pengalaman
sehari-hari, ciri yang ketiga, terjadi ketika kita meletakkan pekerjaan biasa dalam tujuan yang agung. Konon, pada abad
pertengahan seorang musafir bertemu dengan dua orang pekerja yang sedang mengangkut batu-bata. Salah seorang di
antara mereka bekerja dengan muka cemberut, masam, dan tampak kelelahan. Kawannya justru bekerja dengan ceria,
gembira, penuh semangat. Ia tampak tidak kecapaian. Kepada keduanya ditanyakan pertanyaan yang sama, Apa
yangsedang Anda kerjakan? Yang cemberut menjawab, Saya sedang menumpuk batu.Yang ceria berkata, Saya sedang
membangun katedral! Yang kedua telah mengangkat pekerjaan menumpuk bata pada dataran makna yang lebih luhur.
Ia telah melakukan sanktifikasi. Orang yang cerdas secara spiritual tidak memecahkan persoalan hidup hanya secara
rasional atau emosional saja. Ia menghubungkannya dengan makna kehidupan secara spiritual. Ia merujuk pada
warisan spiritual seperti teksteks Kitab Suci atau wejangan orang-orang suci- untuk memberikan penafsiran pada situasi
yang dihadapinya, untuk melakukan definisi situasi. Kecerdasan EmosionalDulu pernah ada pandangan bahwa faktor
dominan yang menyebabkan seseorang sukses dalam masyarakat, dunia usaha/industri, dan pemerintahan adalah
kecerdasan intelektual. Pengalaman dan hasil penelitian membuktikan bahwa faktor dominan penyebab kesuksesan
sesorang adalah kecerdasan spiritual dan emosioanal. Daniel Goleman, seorang ahli psikologi berpendapat bahwa IQ
hanya menyumbangkan 20% terhadap keberhasilan seseorang, selebihnya ditentukan oleh faktor-faktor lain dimana EQ
termasuk di dalamnya (Suyanto dan Djihad Hisyam (2000:9) Daniel Goleman adalah salah seorang yang
mempopulerkan jenis kecerdasan manusia lainnya yang dianggap sebagai faktor penting yang dapat mempengaruhi
terhadap prestasi seseorang, yakni Kecerdasan Emosional, yang kemudian kita mengenalnya dengan sebutan
Emotional Quotient (EQ). Menurut Goleman (2002 : 512), kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang
mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan
emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri,
pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial. Patricia Patton (Suyanto dan Djihad Hisyam, 2000:9) EQ
meliputi sifat-sifat atau karakter manusia seperti : (1) self-awareness (kesadaran); (2) mood management (manajemen
suasana hati), yaitu optimis, tahan uji, sabar dan sebagainya; self motivation (motivasi diri); impulse control
(pengendalian insting atau ledakan-ledakan diri); (5) people skills (ketrampilan). Sementara itu Arif Rachman (Widayati
2002:68,70) menyatakan bahwa hal-hal yang perlu mendapat perhatian dalam EQ (Emotional Quotient) adalah : (1)
kontrol diri : kendali akal, perasaan, iman(2) kemampuan bekerja sama : saling pengertian, tenggang rasa, pemaaf,
menerima kekurangan(3) love (cinta ) : jujur, berbagi (kegembiraan/kesedihan), perhatian Jadi kemampuan untuk
mempunyai kreativitas tidak hanya dimiliki oleh orang yang mempunyai bakat seni. Setiap orang dapat mewujudkan
gagasan kreativitas. Seni budaya yang diajarkan di sekolah adalah sarana untuk merangsang agar siswa mempunyai
keinginan untuk berusaha keras untuk mewujudkan gagasannya atau ide-idenya. Melalui pendidikan seni budaya, maka
siswa diarahkan untuk menghargai hasil karya seni budaya, dapat memberikan tanggapan, dapat mengembangkan
kreativitas baik dalam bidang seni maupun bidang lainnya, serta mempunyai kepekaan indrawi. Ini semua sebagai bekal
siswa pada saat ia kelak terjun dalam kehidupan bermasyarakat.
www.falsburgers.biz
http:/

PENELITIAN KUALITATIF DALAM UPAYA MENGHASILKAN KRITERIA UMUM PERANCANGAN DESAIN INTERIOR BAGI PENANGANAN ANAK AUTIS

Penulisan ini dilatarbelakangi oleh semakin banyak ditemukannya kasus gangguan perkembangan yang terjadi pada usia anak-anak. Salah satu jenis gangguan yang semakin banyak ditemukan adalah autisme. Autisme merupakan gangguan perkembangan yang ditunjukkan oleh beberapa gejala berupa masalah perkembangan seperti kurangnya kemampuan berkomunikasi, berinteraksi sosial, fungsi kognitif, perilaku, serta kemampuan sensorik. Hingga saat ini penyebab autisme belum dapat diketahui secara pasti.
Penderita autisme memerlukan program terapi khusus sebagai usaha penanganan gangguan perkembangan yang dialami. Tujuan dari program terapi ini bukanlah untuk merubah anak autis menjadi normal, melainkan melatih anak agar pada akhirnya mereka dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat. Usaha penanganan ini dilakukan melalui beberapa jenis terapi yang disesuaikan dengan kebutuhan anak. Beberapa jenis terapi yang biasanya diberikan pada anak autis antara lain adalah terapi wicara, terapi perilaku , dan terapi okupasi yang pada umumnya merupakan suatu rangkaian terapi yang harus diberikan pada anak autis. Ketiga jenis terapi ini biasanya diselenggarakan oleh lembaga yang menyediakan layanan terapi untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Namun adakalanya terapi ini juga dilaksanakan di rumah. Dari kondisi ini, diasumsikan bahwa kegiatan terapi ini akan membutuhkan suatu lingkungan fisik yang khusus.
Beberapa ahli berpendapat bahwa setiap anak harus dipandang sebagai individu yang membutuhkan sistem sosial dan lingkungan yang khusus. Setiap anak membutuhkan lingkungan yang disesuaikan dengan usia dan perkembangannya serta membutuhkan lingkungan fisik yang dapat mendukung kegiatan belajar dan bermain anak. Lingkungan fisik yang ada diharapkan dapat memberikan pengaruh positif dalam perkembangan anak. Perencanaan lingkungan fisik, termasuk gedung, interior, ruang-ruang luar, penataan ruang dan peralatan yang digunakan pada lingkungan fisik untuk anak akan memberikan pengaruh bagi perilaku anak.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peran desain interior sebagai lingkungan fisik dalam mendukung program terapi untuk anak autis, sehingga selanjutnya dapat dihasilkan suatu rekomendasi desain interior ruang terapi untuk anak autis. Pada anak autis terdapat beberapa perbedaan dalam sistem sensor tubuh yang dimilikinya yang selanjtnya mempengaruhi kemampuan mereka dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Gangguan kemampuan komunikasi dan interaksi dengan lingkungan sosial maupun lingkungan fisiknya mempengaruhi kemampuan mereka dalam memahami lingkungannya. Keberadaan lingkungan fisik dapat memberikan beberapa pengaruh psikologis pada manusia melalui elemen desain yang digunakan. Warna, tekstur, bentuk, dan faktor-faktor lain dalam desain interior memiliki pengaruh cukup besar bagi pengguna ruang.
Dalam penelitian ini digunakan metode kualitatif deskriptif, yang bertujuan untuk memaparkan kondisi yang ditemukan selama observasi yang dilaksanakan pada beberapa lembaga yang menyelenggarakan program terapi bagi anak autis. Selain observasi lapangan, pengumpulan data juga dilakukan melalui studi literatur. Hasil dari observasi ini dianalisa berdasarkan teori-teori yang menjelaskan tentang hubungan lingkungan dengan perilaku manusia, termasuk di dalamnya elemen-elemen pembentuk ruang interior dan pengaruhnya terhadap anak autis.
Hasil dari analisa yang ada menunjukkan bahwa desain interior memiliki peran dalam mendukung pelaksanaan program terapi bagi anak autis. Tetapi dapat pula disimpulkan bahwa keberhasilan suatu program terapi tidak lepas dari peran aspek lain seperti tenaga terapi, dokter dan psikolog, orang tua, serta program yang dijalankan. Berdasarkan temuan mengenai adanya peran desain interior dalam proses penanganan anak autis ini, selanjutnya disusun suatu rekomendasi desain interior untuk ruang terapi bagi anak autis. Rekomendasi yang dihasilkan dalam penelitian ini merupakan suatu rekomendasi umum yang dapat diteliti dan dikembangkan lebih jauh.

PENGARUH GAYA HIDUP MASYARAKAT JAWA PADA DESAIN INTERIOR RUMAH TINGGAL BERBENTUK JOGLO DI JAKARTA

PENGARUH GAYA HIDUP MASYARAKAT JAWA PADA DESAIN INTERIOR RUMAH TINGGAL BERBENTUK JOGLO DI JAKARTA
Jakarta sebagai kota metropolitan sekaligus ibukota negara Indonesia, adalah tempat berkumpulnya orang dari berbagai etnik. Kondisi global dengan segala kesempatan yang ditawarkan oleh Jakarta mengakibatkan orang tertarik untuk datang dan saling bersaing untuk meraihnya. Hal inilah yang menjadi aspek utama pembentuk karakter plural masyarakat Jakarta. Di tengah dinamika kehidupan masyarakat Jakarta tersebut terlihat fenomena masyarakat ketika beberapa orang Jawa yang tinggal di Jakarta menggunakan Joglo sebagai rumah mereka.
Bagi sebagian orang Jawa yang tinggal di Jakarta, penggunaan joglo dan perabot serta elemen pengisi ruang lainnya yang berasal dari Jawa Tengah maupun Jawa Timur, merupakan suatu pola konsumsi yang ditujukan untuk menunjukkan identitas etnik mereka. Yang kemudian perlu diperhatikan adalah bagaimana orang Jawa tersebut memberikan makna dan relasi baru terhadap joglo tersebut. Pada mulanya joglo memiliki nilai filosofis yang tinggi sebagai rumah Jawa. Namun sebagaimana terjadi perubahan dan perkembangan yang dialami oleh orang Jawa, maka terjadi pula perubahan dan perkembangan terhadap joglo. Penelitian ini menekankan keberadaan joglo dalam konteks mikronya sebagai rumah dan konteks makronya dalam kehidupan metropolitan Jakarta.
Pada perubahan dan perkembangan tersebut dapat ditemui dualitas nilai yang bukan selalu berarti bertentangan, justru sikap kritis masyarakat modern ini mengakibatkan munculnya makna-makna dan relasi-relasi baru terkait dengan keberadaan benda-benda yang mulanya bernilai kosmologis ini.
Penelitian ini mencari hal-hal yang merepresentasikan dualitas nilai-nilai tradisional (kosmologi Jawa) dan kekinian tersebut, serta bagaimana masyarakat sekarang memaknai kosmologi. Terkait dengan hal tersebut maka penelitian ini juga mempermasalahkan penyesuaian yang dilakukan terhadap perbedaan nilai tersebut. Gaya hidup merupakan suatu pilihan yang terbuka, sehingga penggunaan Joglo sebagai bagian dari gaya hidup etnik Jawa tersebut memiliki beberapa pertimbangan. Pada penelitian ini akan dibahas apa saja yang menjadi latar belakang penggunaan Joglo tersebut.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menuntut suatu latar ilmiah sebagai satu keutuhan, dengan menggunakan pendekatan sosial-budaya terhadap kehidupan masyarakat metropolitan Jakarta. Studi kasus pada penelitian ini terdiri dari Joglo milik Nurhadie Irawan, Joglo milik Kusmartono dan Joglo milik Sudarno. Joglo tersebut merupakan bagian dari gaya hidup etnik pemiliknya.
Dari penelitian ini dapat diambil kesimpulan kesimpulan tentang pola dualitas nilai yang ditemukan pada studi kasus. Dualitas nilai tersebut juga mempertimbangkan makna filosofis Joglo sebagai rumah Jawa yang telah mengalami pergeseran nilai. Selanjutnya penelitian ini menghasilkan suatu kesimpulan tentang penyesuaian yang terjadi pada nilai kosmologi Jawa terhadap nilai-nilai kekinian. Terakhir, penelitian ini mengungkapkan pertimbangan yang menjadi latar belakang gaya hidup masyarakat Jawa yang tinggal di metropolitan Jakarta.

metode analisa


II.               Metode

A.          Pendekatan
Penulisan artikel ini menggunakan pendekatan kualitatif karena artikel ini mendeskripsikan keutuhan kasus dengan memahami makna dan gejala dengan kata lain penelitian kualitatif ini sebagai strategi dan teknik penelitian yang digunakan untuk memehami masalah atau gejala dengan mengumpulkan sebanyak mungkin fakta detail dan mendalam. Dan penelitian ini bersifat field work atau  ethnography (Agar, 1980: 2), karena itu menggunakan pendekatan kualitatif yang mengarah pada deskriptif analistis.
B.          Tempat
Dalam penulisan artikel ini penulis melakukan penelitian di Desa Banaran Timur RT 04 RW 07, Ngringo, Jaten, Karanganyar dengan nara sumber bapak KRT.Subandi Suponingrat yang mencari data untuk memperdalam pengetahuan tentang keris. Dan fokus yang dikaji dalam penelitian ini adalah proses pembuatan keris dan makna keberadaan keris pada saat ini. Waktu penelitian selama 1 bulan dengan tahapan 2 minggu pertama  dilakukan proses pengumpulan data dan analisis, sedangkan 2 minggu terakhir digunakan untuk melengkapi data yang masih kurang.
C.          Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis dalam pembuatan artikel ini adalah dengan teknik wawancara dengan mewawancarai secara langsung nara sumbernya secara mendalam dan dilakukan dengan bebas, menempatkan situasi, tempat yang terbuka, informal dan tidak terstruktur akan tetapi terarah pada pokok permasalahan yang diteliti. Untuk memperoleh data yang mendalam tentang informannya, dilakukan pula pengumpulan data riwayat hidup informan. Karena akan memudahkan pengertian yang mendalam, tentang hal-hal yang tidak mudah dilakukan dengan pengamatan (Pelto & Pelto,1987:108-109 dalam  Paedagogia jurnal penelitian pendidikan FKIP UNS 24 Agustus 1998).


D.          Analisis
Kekuatan dan Kelemahan :
Komp.
Sub Komponen
Kmp.
Sub Komponen
S
- Keris merupakan salah satu kebudayaan kita yang harus dilestarikan karena salah satu identitas negara kita.
- Keris memiliki banyak manfaat yang konon berfungsi sebagai senjata tikam dan kemudian digunakan para prajurit keraton sebagai senjata sekaligus sebagai lambang status dalam tata busana. Bahkan keris juga dipakai sebagai pelengkap upacara dilingkungan istana
- Proses pembuatan yang sangat teliti, penuh pertimbangan dan indah
- Beberapa unsur dalam pembuatan keris dihasilkan dengan baik oleh tangan-tangan terampil dan digabungkan menjadi karya yang indah, bermutu tinggi yang penuh dengan nilai-nilai simbolnya
W
- Makna dan keberadaan keris saat ini tidaklah sekeramat dahulu kala. Keris yang konon sebagai lambang status kebangsawanan, kini dihadapkan oleh budaya alternatif (budaya massa) sebagai salah satu alternatif pelesatarian. Keris yang konon sebagai benda bertuah dan dikeramatkan, dirumat dan diyakini sebagai pusaka. Kini keris merupakan benda alternatif seolah barang dagangan siap jual dan menunggu pembelinya.

- Fungsi keris dan segi ritualnya berkurang
- Proses pembuatan yang rumit memakan waktu yang cukup lama
- Sekarang ini jarang tangan – tangan termpil yang mau membuat keris

Kesempatan dan Ancaman :
Komp.
Sub Komponen
Komp.
Sub Komponen
O
Banyak peminat dari luar negeri yang ingin mengetahui proses pembuatan keris dari keadaan tersebut dapat dijadikan alat untuk mempromosikan salah satu kebudayaan dari Indonesia yaitu keris agar pengklaiman dapat dicegah
T
Di aku bahwa keris adalah kebudayaan dari bangsa mereka (luar negeri) dan unsur – unsur yang terdapat dalam keris pudar karena dimakan oleh waktu

Aliran Abstrak dalam Fotografi


Fotografi sering dikatakan merekam realitas apa adanya sehingga dianggap selalu jujur. Dengan kata lain, rekaman fotografi dianggap hanya untuk menampilkan imaji yang tidak butuh penafsiran majemuk.
Namun, karena sesungguhnya fotografi adalah seni lukis juga, yaitu melukis dengan kuas cahaya, sebenarnya tidak ada perbedaan mutlak antara dunia seni lukis murni dan fotografi ini. Aliran yang dalam seni lukis disebut sebagai aliran abstrak sudah lama ada juga di fotografi.
Aliran abstrak dalam fotografi sebenarnya bisa disebut sebagai aliran para pemuja komposisi. Dengan demikian, seorang fotografer yang akan membuat foto abstrak akan mengisi kanvasnya dengan sebuah komposisi yang dilihatnya di alam. Dari sebuah realitas tiga dimensi yang ada, bisa tercipta jumlah tak terhingga komposisi foto abstrak ini.
Dengan lensa yang dipilihnya, seorang fotografer membatasi tepi-tepi kanvasnya, lalu dengan pilihan sudut pemotretan sang fotografer merampungkan karyanya dengan pilihan cahaya dan bayangan yang ada. Dengan begitu, sampai kapan pun tidak akan pernah ada foto abstrak yang sama di dunia ini.
Sejak beberapa tahun lalu para pehobi fotografi secara berolok- olok menyebut aliran ini sebagai â€aliran sesat†karena realitanya hanya dilakukan oleh sangat sedikit fotografer.
Pelan tapi pasti, aliran fotografi ini makin banyak diminati karena paling menunjukkan kelas seorang fotografer di samping menampilkan selera individu dengan sangat nyata. (Arbain Rambey)
Abstrak
Pendidikan dan pelatihan adalah komponen-komponen utama dalam sistem pendidikan di perguruan tinggi yang dapat mendamari masa depan suatu bangsa. Rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia yang dinyatakan dalam parameter laju kelulusan sarjana per tahun, tingkat kelulusan, tingkat selektivitas ke jenjang magister dan doktor, periode waktu belajar, dan biaya pendidikan, merupakan pokok persoalan yang menjadi perhatian utama dalam makalah ini. Pola aliran sumbat yang menghindari terjadinya distribusi waktu tinggal perlu dijadikan model dalam pengembangan sistem dan proses pendidikan, khususnya di perguruan tinggi. Terjadinya distribusi periode studi antara 4-7 tahun untuk program sarjana menyebabkan kapasitas sistem membengkak, namun laju kelulusan sarjananya tetap. Selain itu, biaya pendidikan diperkirakan membengkak hingga lebih dari 20%.
Model sistem pendidikan yang menyerupai aliran sumbat dapat mendorong seluruh civitas akademika untuk mewujudkan perkuliahan yang selesai tepat waktu. Implementasi intensifikasi program studi dapat diarahkan untuk menghambat terjadinya pembengkakan kapasitas mahasiswa yang mengalami keterlambatan studi atau sebaliknya, yaitu menjaga kapasitas mahasiswa pada level yang lebih besar tersebut, namun dengan jaminan laju penerimaan dan kelulusan yang lebih tinggi. Melalui intensifikasi program studi, laju kelulusan diharapkan dapat meningkat, periode waktu belajar menjadi lebih singkat, tingkat kelulusan mencapai 100%, tingkat selektivitas ke arah magister dan doktor dapat ditingkatkan secara berarti, dan kebutuhan dana dapat direduksi serendah mungkin.

mylogo product

check my folio ( ">https://99designs.com/users/731428 ) for Logo Design?

About this blog

> nb ; jangan cuma bisa membuat karya visual yang bagus, analisa sangat penting di dalamnya. teori juga bagus untuk pertanggungjaawaban karya.
assalamualaikum wrb, hom suastiastu, salam damai sejahtera, salam piss, salam metal, salam semua etnis di dunia, semua aliran, semua ras, salam tradisi, salam budaya. salam dunia selalu.
facebooku
all about design & original