Saturday, February 26, 2011
Friday, February 25, 2011
kumpulan
Peranan Pendidikan Seni Budaya
Ditulis oleh FalsBurgers
Wednesday, 07 July 2004
Terakhir Diperbaharui Wednesday, 06 May 2009
Pendidikan Seni Budaya diberikan di sekolah karena keunikan
perannya yang tak mampu diemban oleh mata pelajaran
lain. Keunikan tersebut terletak pada pemberian pengalaman
estetik dalam bentuk kegiatan berekspresi/berkreasi dan
berapresiasi melalui pendekatan: “belajar dengan
seni,” “belajar melalui seni” dan
“belajar tentang seni”.Pendidikan Seni
Budaya memiliki sifat multilingual, multidimensional, dan
multikultural. Multilingual bermakna pengembangan kemampuan
mengekspresikan diri secara kreatif dengan berbagai
cara dan media seperti bahasa rupa, bunyi, gerak, peran dan
berbagai perpaduannya. Multidimensional bermakna
pengembangan beragam kompetensi meliputi konsepsi
(pengetahuan, pemahaman, analisis, evaluasi), apresiasi, dan
kreasi dengan cara memadukan secara harmonis unsur estetika,
logika, kinestetika, dan etika. Sifat multikultural
mengandung makna pendidikan seni menumbuhkembangkan
kesadaran dan kemampuan apresiasi terhadap beragam
budaya Nusantara dan mancanegara. Hal ini merupakan wujud
pembentukan sikap demokratis yang memungkinkan
seseorang hidup secara beradab serta toleran dalam masyarakat
dan budaya yang majemuk. Pendidikan Seni Budaya
memiliki peranan dalam pembentukan pribadi peserta didik
yang harmonis dengan memperhatikan kebutuhan
perkembangan anak dalam mencapai multikecerdasan yang
terdiri atas kecerdasan intrapersonal, interpersonal, visual
spasial, musikal, linguistik, logik matematik, naturalis
serta kecerdasan adversitas (AQ), kreativitas (CQ), spiritual dan
moral (SQ).
Definisi KecerdasanC.P. Chaplin (1975) memberikan pengertian
kecerdasan sebagai kemampuan menghadapi dan
menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan
efektif. Sementara itu, Anita E. Woolfolk (1975) mengemukan
bahwa menurut teori lama, kecerdasan meliputi tiga
pengertian, yaitu : (1) kemampuan untuk belajar; (2) keseluruhan
pengetahuan yang diperoleh; dan (3) kemampuan untuk
beradaptasi dengan dengan situasi baru atau lingkungan pada
umumnya.Memang, semula kajian tentang kecerdasan hanya
sebatas kemampuan individu yang bertautan dengan
aspek kognitif atau biasa disebut Kecerdasan Intelektual
yang bersifat tunggal, sebagaimana yang dikembangkan oleh
Charles Spearman (1904) dengan teori “Two
Factor”-nya, atau Thurstone dengan teori “Primary
Mental Abilities”-nya. Dari kajian ini,
menghasilkan pengelompokkan kecerdasan manusia yang dinyatakan dalam
bentuk Inteligent Quotient (IQ), yang dihitung berdasarkan
perbandingan antara tingkat kemampuan mental (mental age)
dengan tingkat usia (chronological age), merentang mulai
dari kemampuan dengan kategori Ideot sampai dengan
Genius (Weschler dalam Nana Syaodih, 2005). Istilah IQ
mula-mula diperkenalkan oleh Alfred Binet, ahli psikologi dari
Perancis pada awal abad ke-20. Kemudian, Lewis Terman dari
Universitas Stanford berusaha membakukan tes IQ yang
dikembangkan oleh Binet dengan mempertimbangkan norma-norma
populasi sehingga selanjutnya dikenal sebagai tes
Stanford-Binet.Selama bertahun-tahun IQ telah diyakini
menjadi ukuran standar kecerdasan, namun sejalan dengan
tantangan dan suasana kehidupan modern yang serba kompleks,
ukuran standar IQ ini memicu perdebatan sengit dan
sekaligus menggairahkan di kalangan akademisi, pendidik,
praktisi bisnis dan bahkan publik awam, terutama apabila
dihubungkan dengan tingkat kesuksesan atau prestasi hidup
seseorang. Kecerdasan AdversitasKecerdasan
adversitas(AQ, Adversity Quotient) adalah kecerdasan yang
dimiliki seseorang dalam mengatasi kesulitan dan sanggup
bertahan hidup. Dengan AQ, seseorang seperti diukur
kemampuannya dalam menghadapi setiap persoalan hidup agar
tidak putus asa. Penemuan Paul G. Stolzt, Ph.D ini sudah
mendapat legitimasi pula dari hasil temuan psikolog social
Amerika, David mc. Cleland, mengenai kebutuhan berprestasi,
yakni The Need for Achievement (N-Ach). Bahkan Sclotz
berkesimpulan bahwa IQ dan EQ tidak lagi memadai untuk
meraih sukses. Karena itu, pasti ada factor lain berupa
motivasi, dorongan dari dalam serta sikap pantang menyerah.
Faktor itu kemudian disebut Adversity Quotient.Dalam
bukunya itu, Sclotz membagi manusia ke dalam 3 tipe, yaitu
1. Quitters(mereka yang berhenti). Orang jenis ini berhenti di
tengah proses pendakian, gampang putus asa, mudah
menyerah.2. Campers(pekemah). Tidak mencapai puncak,
merasa puas dengan yang telah dicapai.kilah mereka,
“Segini saja sudah cukup, ngapain capek-capek.”
Orang ini lebih banyak jumlahnya dibanding quitters. Mereka
menduga apa yang telah dicapai merupakan kesuksesan
akhir. Padahal tidak demikian sebenarnya. Sebab masih banyak
potensi mereka yang belum tergali.3.
Climbers(pendaki). Mereka yang selalu optimis, melihat peluang-peluang,
melihat celah, melihat harapan di balik
keputus-asaan, selalu bergairah untuk maju. Titik kecil yang
oleh orang lain dianggap sepele, bagi para climbers
dianggap sebagai cahaya kesuksesan. Dalam teori psikologi,
Sclotz menempatkan climbers ini pada piramida puncak
hierarki kebutuhan yang disebiut dalam teori Maslow sebagai
aktualisasi diri. Dengan semangat Al Matin, kita mesti
berani membunuh sifat-sifat pengecut yang bersarang dalam
pikiran (mind) dan jiwa, sebab ini hanya akan menghambat
keberhasilan. Untuk apa kita takut, sebab langit dan bumi
dimana kita bagian darinya adalah kepunyaan Allah dan dia
telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang(Ar-rahmah) (QS
Al An’am(6):12). Artinya bahwa Tuhan tidak akan
pernah membiarkan kita. Tebaran kasih sayangnya senantiasa
menyelimuti kita. Menyertai setiap perjalanan kita,
sehingga tidak ada alasan untuk takut menjalani hidup ini.
Prof. Dr. Hamka mengatakan, “Jangan takut, sebab
yang tidak pernah memanjatlah yang tidak pernah jatuh.
Jangan takut gagal, sebab yang tidak pernah agal hanyalah
orang yang tidak pernah mencoba melangkah. Jangan takut
salah, sebab orang dengan kesalahan yang pertama, kita
dapat menambah pengetahuan untuk mencari jalan yang benar
pada langkah kedua.” Itulah sebabnya,
berhentilah merasa lelah dan hiduplah dengan penuh
vitalitas. Hancurkanlah kemalasan dan perasaan gagal dalam
hidup. Ingatlah kata-kata Muhammad Iqbal,”Tuhan
adalah kekuatan. Berikan karakter dan imajinasi yang sehat,
maka kita dapat membangun kembali dunia yang penuh dosa dan
penderitaan ini menjadi surga
www.falsburgers.biz
http://falsburgers.biz Powered by: Joomla! Generated: 11
January, 2010, 19:41
nyata.” Kecerdasan SpiritualMengutip lima
karakteristik orang yang cerdas secara spiritual menurut Roberts A.
Emmons, The Psychology of Ultimate Concerns: (1) kemampuan
untuk mentransendensikan yang fisik dan material;(2)
kemampuan untuk mengalami tingkat kesadaran yang
memuncak;(3) kemampuan untuk mensakralkan pengalaman
sehari-hari; (4) kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber
spiritual buat menyelesaikan masalah;(5) kemampuan
untuk berbuat baik. Dua karakteristik yang pertama sering
disebut sebagai komponen inti kecerdasan spiritual. Kita yang
merasakan kehadiran Tuhan atau makhluk ruhaniyah di
sekitarnya mengalami transendensi fisikal dan material.Ia
memasuki dunia spiritual. Ia mencapai kesadaran kosmis yang
menggabungkan dia dengan seluruh alam semesta. Ia
merasa bahwa alamnya tidak terbatas pada apa yang disaksikan
dengan alat-alat indrianya. Sanktifikasi pengalaman
sehari-hari, ciri yang ketiga, terjadi ketika kita
meletakkan pekerjaan biasa dalam tujuan yang agung. Konon, pada abad
pertengahan seorang musafir bertemu dengan dua orang pekerja
yang sedang mengangkut batu-bata. Salah seorang di
antara mereka bekerja dengan muka cemberut, masam, dan
tampak kelelahan. Kawannya justru bekerja dengan ceria,
gembira, penuh semangat. Ia tampak tidak kecapaian. Kepada
keduanya ditanyakan pertanyaan yang sama, Apa
yangsedang Anda kerjakan? Yang cemberut menjawab, Saya
sedang menumpuk batu.Yang ceria berkata, Saya sedang
membangun katedral! Yang kedua telah mengangkat pekerjaan
menumpuk bata pada dataran makna yang lebih luhur.
Ia telah melakukan sanktifikasi. Orang yang cerdas secara
spiritual tidak memecahkan persoalan hidup hanya secara
rasional atau emosional saja. Ia menghubungkannya dengan
makna kehidupan secara spiritual. Ia merujuk pada
warisan spiritual seperti teksteks Kitab Suci atau wejangan
orang-orang suci- untuk memberikan penafsiran pada situasi
yang dihadapinya, untuk melakukan definisi situasi.
Kecerdasan EmosionalDulu pernah ada pandangan bahwa faktor
dominan yang menyebabkan seseorang sukses dalam masyarakat,
dunia usaha/industri, dan pemerintahan adalah
kecerdasan intelektual. Pengalaman dan hasil penelitian
membuktikan bahwa faktor dominan penyebab kesuksesan
sesorang adalah kecerdasan spiritual dan emosioanal. Daniel
Goleman, seorang ahli psikologi berpendapat bahwa IQ
hanya menyumbangkan 20% terhadap keberhasilan seseorang, selebihnya
ditentukan oleh faktor-faktor lain dimana EQ
termasuk di dalamnya (Suyanto dan Djihad Hisyam (2000:9)
Daniel Goleman adalah salah seorang yang
mempopulerkan jenis kecerdasan manusia lainnya yang dianggap
sebagai faktor penting yang dapat mempengaruhi
terhadap prestasi seseorang, yakni Kecerdasan Emosional,
yang kemudian kita mengenalnya dengan sebutan
Emotional Quotient (EQ). Menurut Goleman (2002 : 512),
kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang
mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage
our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan
emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion
and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri,
pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan
sosial. Patricia Patton (Suyanto dan Djihad Hisyam, 2000:9) EQ
meliputi sifat-sifat atau karakter manusia seperti : (1)
self-awareness (kesadaran); (2) mood management (manajemen
suasana hati), yaitu optimis, tahan uji, sabar dan
sebagainya; self motivation (motivasi diri); impulse control
(pengendalian insting atau ledakan-ledakan diri); (5) people
skills (ketrampilan). Sementara itu Arif Rachman (Widayati
2002:68,70) menyatakan bahwa hal-hal yang perlu mendapat
perhatian dalam EQ (Emotional Quotient) adalah : (1)
kontrol diri : kendali akal, perasaan, iman(2) kemampuan
bekerja sama : saling pengertian, tenggang rasa, pemaaf,
menerima kekurangan(3) love (cinta ) : jujur, berbagi
(kegembiraan/kesedihan), perhatian Jadi kemampuan untuk
mempunyai kreativitas tidak hanya dimiliki oleh orang yang
mempunyai bakat seni. Setiap orang dapat mewujudkan
gagasan kreativitas. Seni budaya yang diajarkan di sekolah
adalah sarana untuk merangsang agar siswa mempunyai
keinginan untuk berusaha keras untuk mewujudkan gagasannya
atau ide-idenya. Melalui pendidikan seni budaya, maka
siswa diarahkan untuk menghargai hasil karya seni budaya,
dapat memberikan tanggapan, dapat mengembangkan
kreativitas baik dalam bidang seni maupun bidang lainnya,
serta mempunyai kepekaan indrawi. Ini semua sebagai bekal
siswa pada saat ia kelak terjun dalam kehidupan
bermasyarakat.
www.falsburgers.biz
http:/
PENELITIAN KUALITATIF DALAM UPAYA MENGHASILKAN KRITERIA UMUM PERANCANGAN DESAIN INTERIOR BAGI PENANGANAN ANAK AUTIS
Penulisan ini dilatarbelakangi oleh semakin banyak ditemukannya kasus gangguan
perkembangan yang terjadi pada usia anak-anak. Salah satu jenis gangguan yang
semakin banyak ditemukan adalah autisme. Autisme merupakan gangguan perkembangan
yang ditunjukkan oleh beberapa gejala berupa masalah perkembangan seperti
kurangnya kemampuan berkomunikasi, berinteraksi sosial, fungsi kognitif,
perilaku, serta kemampuan sensorik. Hingga
saat ini penyebab autisme belum dapat diketahui secara pasti.
Penderita autisme memerlukan program terapi khusus sebagai usaha penanganan gangguan perkembangan yang dialami. Tujuan dari program terapi ini bukanlah untuk merubah anak autis menjadi normal, melainkan melatih anak agar pada akhirnya mereka dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat. Usaha penanganan ini dilakukan melalui beberapa jenis terapi yang disesuaikan dengan kebutuhan anak. Beberapa jenis terapi yang biasanya diberikan pada anak autis antara lain adalah terapi wicara, terapi perilaku , dan terapi okupasi yang pada umumnya merupakan suatu rangkaian terapi yang harus diberikan pada anak autis. Ketiga jenis terapi ini biasanya diselenggarakan oleh lembaga yang menyediakan layanan terapi untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Namun adakalanya terapi ini juga dilaksanakan di rumah. Dari kondisi ini, diasumsikan bahwa kegiatan terapi ini akan membutuhkan suatu lingkungan fisik yang khusus.
Beberapa ahli berpendapat bahwa setiap anak harus dipandang sebagai individu yang membutuhkan sistem sosial dan lingkungan yang khusus. Setiap anak membutuhkan lingkungan yang disesuaikan dengan usia dan perkembangannya serta membutuhkan lingkungan fisik yang dapat mendukung kegiatan belajar dan bermain anak. Lingkungan fisik yang ada diharapkan dapat memberikan pengaruh positif dalam perkembangan anak. Perencanaan lingkungan fisik, termasuk gedung, interior, ruang-ruang luar, penataan ruang dan peralatan yang digunakan pada lingkungan fisik untuk anak akan memberikan pengaruh bagi perilaku anak.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peran desain interior sebagai lingkungan fisik dalam mendukung program terapi untuk anak autis, sehingga selanjutnya dapat dihasilkan suatu rekomendasi desain interior ruang terapi untuk anak autis. Pada anak autis terdapat beberapa perbedaan dalam sistem sensor tubuh yang dimilikinya yang selanjtnya mempengaruhi kemampuan mereka dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Gangguan kemampuan komunikasi dan interaksi dengan lingkungan sosial maupun lingkungan fisiknya mempengaruhi kemampuan mereka dalam memahami lingkungannya. Keberadaan lingkungan fisik dapat memberikan beberapa pengaruh psikologis pada manusia melalui elemen desain yang digunakan. Warna, tekstur, bentuk, dan faktor-faktor lain dalam desain interior memiliki pengaruh cukup besar bagi pengguna ruang.
Dalam penelitian ini digunakan metode kualitatif deskriptif, yang bertujuan untuk memaparkan kondisi yang ditemukan selama observasi yang dilaksanakan pada beberapa lembaga yang menyelenggarakan program terapi bagi anak autis. Selain observasi lapangan, pengumpulan data juga dilakukan melalui studi literatur. Hasil dari observasi ini dianalisa berdasarkan teori-teori yang menjelaskan tentang hubungan lingkungan dengan perilaku manusia, termasuk di dalamnya elemen-elemen pembentuk ruang interior dan pengaruhnya terhadap anak autis.
Hasil dari analisa yang ada menunjukkan bahwa desain interior memiliki peran dalam mendukung pelaksanaan program terapi bagi anak autis. Tetapi dapat pula disimpulkan bahwa keberhasilan suatu program terapi tidak lepas dari peran aspek lain seperti tenaga terapi, dokter dan psikolog, orang tua, serta program yang dijalankan. Berdasarkan temuan mengenai adanya peran desain interior dalam proses penanganan anak autis ini, selanjutnya disusun suatu rekomendasi desain interior untuk ruang terapi bagi anak autis. Rekomendasi yang dihasilkan dalam penelitian ini merupakan suatu rekomendasi umum yang dapat diteliti dan dikembangkan lebih jauh.
Penderita autisme memerlukan program terapi khusus sebagai usaha penanganan gangguan perkembangan yang dialami. Tujuan dari program terapi ini bukanlah untuk merubah anak autis menjadi normal, melainkan melatih anak agar pada akhirnya mereka dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat. Usaha penanganan ini dilakukan melalui beberapa jenis terapi yang disesuaikan dengan kebutuhan anak. Beberapa jenis terapi yang biasanya diberikan pada anak autis antara lain adalah terapi wicara, terapi perilaku , dan terapi okupasi yang pada umumnya merupakan suatu rangkaian terapi yang harus diberikan pada anak autis. Ketiga jenis terapi ini biasanya diselenggarakan oleh lembaga yang menyediakan layanan terapi untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Namun adakalanya terapi ini juga dilaksanakan di rumah. Dari kondisi ini, diasumsikan bahwa kegiatan terapi ini akan membutuhkan suatu lingkungan fisik yang khusus.
Beberapa ahli berpendapat bahwa setiap anak harus dipandang sebagai individu yang membutuhkan sistem sosial dan lingkungan yang khusus. Setiap anak membutuhkan lingkungan yang disesuaikan dengan usia dan perkembangannya serta membutuhkan lingkungan fisik yang dapat mendukung kegiatan belajar dan bermain anak. Lingkungan fisik yang ada diharapkan dapat memberikan pengaruh positif dalam perkembangan anak. Perencanaan lingkungan fisik, termasuk gedung, interior, ruang-ruang luar, penataan ruang dan peralatan yang digunakan pada lingkungan fisik untuk anak akan memberikan pengaruh bagi perilaku anak.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peran desain interior sebagai lingkungan fisik dalam mendukung program terapi untuk anak autis, sehingga selanjutnya dapat dihasilkan suatu rekomendasi desain interior ruang terapi untuk anak autis. Pada anak autis terdapat beberapa perbedaan dalam sistem sensor tubuh yang dimilikinya yang selanjtnya mempengaruhi kemampuan mereka dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Gangguan kemampuan komunikasi dan interaksi dengan lingkungan sosial maupun lingkungan fisiknya mempengaruhi kemampuan mereka dalam memahami lingkungannya. Keberadaan lingkungan fisik dapat memberikan beberapa pengaruh psikologis pada manusia melalui elemen desain yang digunakan. Warna, tekstur, bentuk, dan faktor-faktor lain dalam desain interior memiliki pengaruh cukup besar bagi pengguna ruang.
Dalam penelitian ini digunakan metode kualitatif deskriptif, yang bertujuan untuk memaparkan kondisi yang ditemukan selama observasi yang dilaksanakan pada beberapa lembaga yang menyelenggarakan program terapi bagi anak autis. Selain observasi lapangan, pengumpulan data juga dilakukan melalui studi literatur. Hasil dari observasi ini dianalisa berdasarkan teori-teori yang menjelaskan tentang hubungan lingkungan dengan perilaku manusia, termasuk di dalamnya elemen-elemen pembentuk ruang interior dan pengaruhnya terhadap anak autis.
Hasil dari analisa yang ada menunjukkan bahwa desain interior memiliki peran dalam mendukung pelaksanaan program terapi bagi anak autis. Tetapi dapat pula disimpulkan bahwa keberhasilan suatu program terapi tidak lepas dari peran aspek lain seperti tenaga terapi, dokter dan psikolog, orang tua, serta program yang dijalankan. Berdasarkan temuan mengenai adanya peran desain interior dalam proses penanganan anak autis ini, selanjutnya disusun suatu rekomendasi desain interior untuk ruang terapi bagi anak autis. Rekomendasi yang dihasilkan dalam penelitian ini merupakan suatu rekomendasi umum yang dapat diteliti dan dikembangkan lebih jauh.
PENGARUH GAYA HIDUP MASYARAKAT JAWA PADA DESAIN INTERIOR RUMAH TINGGAL BERBENTUK JOGLO DI JAKARTA
PENGARUH GAYA HIDUP
MASYARAKAT JAWA PADA DESAIN INTERIOR RUMAH TINGGAL BERBENTUK JOGLO DI JAKARTA
Jakarta sebagai kota metropolitan sekaligus ibukota negara Indonesia, adalah tempat berkumpulnya orang dari berbagai etnik. Kondisi global dengan segala kesempatan yang ditawarkan oleh Jakarta mengakibatkan orang tertarik untuk datang dan saling bersaing untuk meraihnya. Hal inilah yang menjadi aspek utama pembentuk karakter plural masyarakat Jakarta. Di tengah dinamika kehidupan masyarakat Jakarta tersebut terlihat fenomena masyarakat ketika beberapa orang Jawa yang tinggal di Jakarta menggunakan Joglo sebagai rumah mereka.
Bagi sebagian orang Jawa yang tinggal di Jakarta, penggunaan joglo dan perabot serta elemen pengisi ruang lainnya yang berasal dari Jawa Tengah maupun Jawa Timur, merupakan suatu pola konsumsi yang ditujukan untuk menunjukkan identitas etnik mereka. Yang kemudian perlu diperhatikan adalah bagaimana orang Jawa tersebut memberikan makna dan relasi baru terhadap joglo tersebut. Pada mulanya joglo memiliki nilai filosofis yang tinggi sebagai rumah Jawa. Namun sebagaimana terjadi perubahan dan perkembangan yang dialami oleh orang Jawa, maka terjadi pula perubahan dan perkembangan terhadap joglo. Penelitian ini menekankan keberadaan joglo dalam konteks mikronya sebagai rumah dan konteks makronya dalam kehidupan metropolitan Jakarta.
Pada perubahan dan perkembangan tersebut dapat ditemui dualitas nilai yang bukan selalu berarti bertentangan, justru sikap kritis masyarakat modern ini mengakibatkan munculnya makna-makna dan relasi-relasi baru terkait dengan keberadaan benda-benda yang mulanya bernilai kosmologis ini.
Penelitian ini mencari hal-hal yang merepresentasikan dualitas nilai-nilai tradisional (kosmologi Jawa) dan kekinian tersebut, serta bagaimana masyarakat sekarang memaknai kosmologi. Terkait dengan hal tersebut maka penelitian ini juga mempermasalahkan penyesuaian yang dilakukan terhadap perbedaan nilai tersebut. Gaya hidup merupakan suatu pilihan yang terbuka, sehingga penggunaan Joglo sebagai bagian dari gaya hidup etnik Jawa tersebut memiliki beberapa pertimbangan. Pada penelitian ini akan dibahas apa saja yang menjadi latar belakang penggunaan Joglo tersebut.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menuntut suatu latar ilmiah sebagai satu keutuhan, dengan menggunakan pendekatan sosial-budaya terhadap kehidupan masyarakat metropolitan Jakarta. Studi kasus pada penelitian ini terdiri dari Joglo milik Nurhadie Irawan, Joglo milik Kusmartono dan Joglo milik Sudarno. Joglo tersebut merupakan bagian dari gaya hidup etnik pemiliknya.
Dari penelitian ini dapat diambil kesimpulan kesimpulan tentang pola dualitas nilai yang ditemukan pada studi kasus. Dualitas nilai tersebut juga mempertimbangkan makna filosofis Joglo sebagai rumah Jawa yang telah mengalami pergeseran nilai. Selanjutnya penelitian ini menghasilkan suatu kesimpulan tentang penyesuaian yang terjadi pada nilai kosmologi Jawa terhadap nilai-nilai kekinian. Terakhir, penelitian ini mengungkapkan pertimbangan yang menjadi latar belakang gaya hidup masyarakat Jawa yang tinggal di metropolitan Jakarta.
Jakarta sebagai kota metropolitan sekaligus ibukota negara Indonesia, adalah tempat berkumpulnya orang dari berbagai etnik. Kondisi global dengan segala kesempatan yang ditawarkan oleh Jakarta mengakibatkan orang tertarik untuk datang dan saling bersaing untuk meraihnya. Hal inilah yang menjadi aspek utama pembentuk karakter plural masyarakat Jakarta. Di tengah dinamika kehidupan masyarakat Jakarta tersebut terlihat fenomena masyarakat ketika beberapa orang Jawa yang tinggal di Jakarta menggunakan Joglo sebagai rumah mereka.
Bagi sebagian orang Jawa yang tinggal di Jakarta, penggunaan joglo dan perabot serta elemen pengisi ruang lainnya yang berasal dari Jawa Tengah maupun Jawa Timur, merupakan suatu pola konsumsi yang ditujukan untuk menunjukkan identitas etnik mereka. Yang kemudian perlu diperhatikan adalah bagaimana orang Jawa tersebut memberikan makna dan relasi baru terhadap joglo tersebut. Pada mulanya joglo memiliki nilai filosofis yang tinggi sebagai rumah Jawa. Namun sebagaimana terjadi perubahan dan perkembangan yang dialami oleh orang Jawa, maka terjadi pula perubahan dan perkembangan terhadap joglo. Penelitian ini menekankan keberadaan joglo dalam konteks mikronya sebagai rumah dan konteks makronya dalam kehidupan metropolitan Jakarta.
Pada perubahan dan perkembangan tersebut dapat ditemui dualitas nilai yang bukan selalu berarti bertentangan, justru sikap kritis masyarakat modern ini mengakibatkan munculnya makna-makna dan relasi-relasi baru terkait dengan keberadaan benda-benda yang mulanya bernilai kosmologis ini.
Penelitian ini mencari hal-hal yang merepresentasikan dualitas nilai-nilai tradisional (kosmologi Jawa) dan kekinian tersebut, serta bagaimana masyarakat sekarang memaknai kosmologi. Terkait dengan hal tersebut maka penelitian ini juga mempermasalahkan penyesuaian yang dilakukan terhadap perbedaan nilai tersebut. Gaya hidup merupakan suatu pilihan yang terbuka, sehingga penggunaan Joglo sebagai bagian dari gaya hidup etnik Jawa tersebut memiliki beberapa pertimbangan. Pada penelitian ini akan dibahas apa saja yang menjadi latar belakang penggunaan Joglo tersebut.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menuntut suatu latar ilmiah sebagai satu keutuhan, dengan menggunakan pendekatan sosial-budaya terhadap kehidupan masyarakat metropolitan Jakarta. Studi kasus pada penelitian ini terdiri dari Joglo milik Nurhadie Irawan, Joglo milik Kusmartono dan Joglo milik Sudarno. Joglo tersebut merupakan bagian dari gaya hidup etnik pemiliknya.
Dari penelitian ini dapat diambil kesimpulan kesimpulan tentang pola dualitas nilai yang ditemukan pada studi kasus. Dualitas nilai tersebut juga mempertimbangkan makna filosofis Joglo sebagai rumah Jawa yang telah mengalami pergeseran nilai. Selanjutnya penelitian ini menghasilkan suatu kesimpulan tentang penyesuaian yang terjadi pada nilai kosmologi Jawa terhadap nilai-nilai kekinian. Terakhir, penelitian ini mengungkapkan pertimbangan yang menjadi latar belakang gaya hidup masyarakat Jawa yang tinggal di metropolitan Jakarta.
metode analisa
II.
Metode
A.
Pendekatan
Penulisan artikel ini menggunakan
pendekatan kualitatif karena artikel ini mendeskripsikan keutuhan kasus dengan memahami makna dan gejala dengan kata
lain penelitian kualitatif ini sebagai strategi dan teknik penelitian yang
digunakan untuk memehami masalah atau gejala dengan mengumpulkan sebanyak
mungkin fakta detail dan mendalam. Dan penelitian ini bersifat field work
atau ethnography (Agar, 1980: 2), karena
itu menggunakan pendekatan kualitatif yang mengarah pada deskriptif analistis.
B.
Tempat
Dalam penulisan artikel ini penulis
melakukan penelitian di Desa Banaran Timur RT 04 RW 07, Ngringo, Jaten,
Karanganyar dengan nara sumber bapak KRT.Subandi Suponingrat yang mencari data
untuk memperdalam pengetahuan tentang keris. Dan fokus yang dikaji dalam
penelitian ini adalah proses pembuatan keris dan makna keberadaan keris pada
saat ini. Waktu penelitian selama 1 bulan dengan tahapan 2 minggu pertama dilakukan proses pengumpulan data dan
analisis, sedangkan 2 minggu terakhir digunakan untuk melengkapi data yang
masih kurang.
C.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan
oleh penulis dalam pembuatan artikel ini adalah dengan teknik wawancara dengan
mewawancarai secara langsung nara sumbernya secara mendalam dan dilakukan
dengan bebas, menempatkan situasi, tempat yang terbuka, informal dan tidak
terstruktur akan tetapi terarah pada pokok permasalahan yang diteliti. Untuk
memperoleh data yang mendalam tentang informannya, dilakukan pula pengumpulan
data riwayat hidup informan. Karena akan memudahkan pengertian yang mendalam,
tentang hal-hal yang tidak mudah dilakukan dengan pengamatan (Pelto &
Pelto,1987:108-109 dalam Paedagogia
jurnal penelitian pendidikan FKIP UNS 24 Agustus 1998).
D.
Analisis
Kekuatan dan Kelemahan :
Komp.
|
Sub Komponen
|
Kmp.
|
Sub Komponen
|
S
|
- Keris merupakan salah satu kebudayaan
kita yang harus dilestarikan karena salah satu identitas negara kita.
- Keris memiliki banyak manfaat yang
konon berfungsi sebagai senjata tikam dan kemudian digunakan para prajurit
keraton sebagai senjata sekaligus sebagai lambang status dalam tata busana.
Bahkan keris juga dipakai sebagai pelengkap upacara dilingkungan istana
- Proses pembuatan yang sangat teliti,
penuh pertimbangan dan indah
- Beberapa unsur dalam pembuatan keris dihasilkan dengan baik oleh
tangan-tangan terampil dan digabungkan menjadi karya yang indah, bermutu
tinggi yang penuh dengan nilai-nilai simbolnya
|
W
|
- Makna dan keberadaan keris saat ini
tidaklah sekeramat dahulu kala. Keris yang konon sebagai lambang status
kebangsawanan, kini dihadapkan oleh budaya alternatif (budaya massa) sebagai
salah satu alternatif pelesatarian. Keris yang konon sebagai benda bertuah
dan dikeramatkan, dirumat dan diyakini sebagai pusaka. Kini keris merupakan
benda alternatif seolah barang dagangan siap jual dan menunggu pembelinya.
- Fungsi keris dan segi ritualnya
berkurang
- Proses pembuatan yang rumit memakan
waktu yang cukup lama
- Sekarang ini jarang tangan – tangan
termpil yang mau membuat keris
|
Kesempatan dan Ancaman :
Komp.
|
Sub Komponen
|
Komp.
|
Sub Komponen
|
O
|
Banyak peminat dari luar negeri yang ingin mengetahui proses
pembuatan keris dari keadaan tersebut dapat dijadikan alat untuk
mempromosikan salah satu kebudayaan dari Indonesia yaitu keris agar
pengklaiman dapat dicegah
|
T
|
Di aku bahwa keris adalah kebudayaan
dari bangsa mereka (luar negeri) dan unsur – unsur yang terdapat dalam keris
pudar karena dimakan oleh waktu
|
Aliran Abstrak dalam Fotografi
Fotografi sering
dikatakan merekam realitas apa adanya sehingga dianggap selalu jujur. Dengan
kata lain, rekaman fotografi dianggap hanya untuk menampilkan imaji yang tidak
butuh penafsiran majemuk.
Namun, karena
sesungguhnya fotografi adalah seni lukis juga, yaitu melukis dengan kuas
cahaya, sebenarnya tidak ada perbedaan mutlak antara dunia seni lukis murni dan
fotografi ini. Aliran yang dalam seni lukis disebut sebagai aliran abstrak
sudah lama ada juga di fotografi.
Aliran abstrak dalam fotografi sebenarnya
bisa disebut sebagai aliran para pemuja komposisi. Dengan demikian, seorang
fotografer yang akan membuat foto abstrak akan mengisi kanvasnya dengan sebuah
komposisi yang dilihatnya di alam. Dari sebuah realitas tiga dimensi yang ada,
bisa tercipta jumlah tak terhingga komposisi foto abstrak ini.
Dengan lensa yang
dipilihnya, seorang fotografer membatasi tepi-tepi kanvasnya, lalu dengan
pilihan sudut pemotretan sang fotografer merampungkan karyanya dengan pilihan
cahaya dan bayangan yang ada. Dengan begitu, sampai kapan pun tidak akan pernah
ada foto abstrak yang sama di dunia ini.
Sejak beberapa tahun
lalu para pehobi fotografi secara berolok- olok menyebut aliran ini sebagai �aliran sesat� karena realitanya hanya dilakukan
oleh sangat sedikit fotografer.
Pelan tapi pasti,
aliran fotografi ini makin banyak diminati karena paling menunjukkan kelas
seorang fotografer di samping menampilkan selera individu dengan sangat nyata.
(Arbain Rambey)
Abstrak
Pendidikan dan pelatihan
adalah komponen-komponen utama dalam sistem pendidikan di perguruan tinggi yang
dapat mendamari masa depan suatu bangsa. Rendahnya kualitas pendidikan di
Indonesia yang dinyatakan dalam parameter laju kelulusan sarjana per tahun,
tingkat kelulusan, tingkat selektivitas ke jenjang magister dan doktor, periode
waktu belajar, dan biaya pendidikan, merupakan pokok persoalan yang menjadi
perhatian utama dalam makalah ini. Pola aliran sumbat yang menghindari
terjadinya distribusi waktu tinggal perlu dijadikan model dalam pengembangan
sistem dan proses pendidikan, khususnya di perguruan tinggi. Terjadinya
distribusi periode studi antara 4-7 tahun untuk program sarjana menyebabkan
kapasitas sistem membengkak, namun laju kelulusan sarjananya tetap. Selain itu,
biaya pendidikan diperkirakan membengkak hingga lebih dari 20%.
Model sistem pendidikan yang menyerupai aliran sumbat
dapat mendorong seluruh civitas akademika untuk mewujudkan perkuliahan yang
selesai tepat waktu. Implementasi intensifikasi program studi dapat diarahkan
untuk menghambat terjadinya pembengkakan kapasitas mahasiswa yang mengalami
keterlambatan studi atau sebaliknya, yaitu menjaga kapasitas mahasiswa pada
level yang lebih besar tersebut, namun dengan jaminan laju penerimaan dan
kelulusan yang lebih tinggi. Melalui intensifikasi program studi, laju
kelulusan diharapkan dapat meningkat, periode waktu belajar menjadi lebih
singkat, tingkat kelulusan mencapai 100%, tingkat selektivitas ke arah magister
dan doktor dapat ditingkatkan secara berarti, dan kebutuhan dana dapat
direduksi serendah mungkin.Sunday, February 20, 2011
TEKNIK PENYELESAIAN ORNAMEN (FINISHING)
a.Teknik hitam-putih yaitu penyelesaian suatu karya ornamen yang hanya
memanfaatkan tinta atau pensil hitam, penyelesaian dengan cara ini dimaksudkan
untuk menimbulkan kesan gelap-terang, penyinaran, kesan jarak, dan kesan
volume. Teknik penyelesaian (finishing) dilakukan dengan sistem :
Arsiran (searah, bebas, dusel)
Pointilis yaitu penyelesaian dengan menggunakan titik-titik.
Sungging atau gradasi yaitu dengan menggunakan tinta china atau tinta bak,
finishing ini dilakukan melalui tahapan-tahapan dari tipis ke tebal atau dari
gelap ke terang sesuai dengan keinginan.
b.Teknik warna yaitu jenis finishing yang mengunakan warna sebagai unsur
pokok. Finishing ini dilakukan dengan sistem:
Plakat yaitu menerapkan warnasecara plakat(poster) sesuai dengan warna
motif yangdiinginkan.
Gradasi (warnater susun) yaitu dengan menerapkan warna secara tersusun baik
dari warna gelap kewarna terang atau sebaliknya.
Gelap-terang yaitu menerapkan warna dari warna gelap ke warna terang dengan
menebarkan warna (bukan tersusun).
Untuk mendapat hasil yang maksimal dalam melakukan finishing dengan warna
adalah pengetahuan seseorang tentang teori warna yang menyangkut: jenis warna,
teknik pencampuran warna dan efek yang ditimbulkan, nilai warna, sifat warna,
makna warna dan lain-lain.
FUNGSI ORNAMEN
Penciptaan suatu karya biasanya selalu terkait dengan fungsi
tertentu,demikian pula halnya dengan karya seni ornamen yang penciptaannya
selalu terkait dengan fungsi atau kegunaan tertentu pula. Beberapa fungsi
ornamen diuraikan sebagai berikut:
a.sebagai ragam hias murni, maksudnya bentuk-bentuk ragam hias yang dibuat
hanya untuk menghias saja demi keindahan suatu bentuk (benda ) atau bangunan,
dimana ornamen tersebut ditempatkan. Penerapannya biasanya pada alat-alat rumah
tangga, arsitektur, pada pakaian (batik, bordir, kerawang) pada alat transportasi dan sebagainya.
b.Sebagai ragam hias simbolis, maksudnya karya ornamen yang dibuat
selain mempunyai fungsi sebagai penghias suatu benda juga memiliki nilai
simbolis tertentu di dalamnya, menurut norma-norma tertentu (adat, agama,
sistem sosial lainnya). Bentuk, motif dan penempatannya sangat ditentukan oleh
norma-norma tersebut terutama norma agama yang harus ditaati, untuk menghindari
timbulnya salah pengertian akan makna atau nilai simbolis yang terkandung
didalamnya, oleh sebab itu pengerjaan suatu ornamen simbolis hendaknya menepati
aturan-aturan yang ditentukan. Contoh ragam hias ini misalnya motif kaligrafi,
motif pohon hayat sebagai lambang kehidupan, motif burung phonik sebagai lambang
keabadian, motif padma, swastika,lamak dan sebagainya.
CORAK SENI ORNAMEN
Berdasarkan periode dan ciri-ciri yang ditampilkan, karya seni ornamen
memiliki beberapa corak yaitu:
a.Ornamen Primitif, yaitu karya seni ornamen yang diciptakan pada zaman
purba atau zaman primitif. Ciri-ciri umum dari seni ornamen primitif adalah
sederhana, tegas, kaku, cendrung bermotif geometris, goresan spontan, biasanya
mengandung makna simbolik tertentu. Sedangkan komposisi yang diterapkan
biasanya berderet, sepotong-sepotong, berulang, berselang-seling, dan sering
juga dijumpai penyusunan secara terpadu. Karya seni primitif memberi gambaran
kesederhanaan dan gambaran perilaku masyarakat pada zaman itu. Seni primitif
bersifat universal karena ciri-ciri umumnya adalah sama diseluruh dunia.
b.Ornamen klasik adalah hasil karya seni ornamen yang telah mencapai
puncak-puncak perkembangannya atau telah mencapai tataran estetis tertinggi,
sehingga sulit dikembangkan lebih lanjut. Ia telah mempunyai bentuk dan pakem
yang standard, struktur motif dan pola yang tetap, memiliki susunan, irama yang
telah baku dan sulit untuk dirobah dalam bentuk yang lain, dan yang terpenting
telah diterima eksistensinya tanpa mengalami perubahan lagi. Contohnya ornamen
Majapahit, Pajajaran, Jepara, Bali, Surakarta, Madura, mataram dan lain-lain.
Seni klasik bersifat kedaerahan karenanya masing-masing daerah memiliki ragam hias
klasik dengan corak dan ciri-ciri tersendiri.
c.Ornamen Tradisional yaitu ragam hias yang berkembang ditengah-tengah
masyarakat secara turun-temurun, dan tetap digemari dan dilestarikan sebagai
sesuatu yang dapat memberi manfaat (keindahan) bagi kehidupan, dari masa ke
masa. Ornamen tradisonal mungkin berasal dari seni klasik atau seni primitif,
namun setelah mendapat pengolahan-pengolahan tertentu, dilestarikan
kemanfaatannya demi memenuhi kebutuhan, khususnya dalam hal kebutuhan estetis.
Oleh sebab itu corak seni ornamen tradisional merupakan pembauran dari seni
klasik dan primitif. Hasil atau wujud dari pembauran tersebut tergantung dari
sumber mana yang lebih kuat yang akan memberi kesan/corak yang lebih dominan.
Misalnya motif tradisonal Majapahit, Bali, Jogyakarta, Pekalongan beberapa
daerah lainnya lebih dominan bersumber pada corak motif klasik, sedangkan motif
tradisional Irian jaya, toraja, motif suku dayak dan motif Kalimantan corak
primitifnya lebih menonjol. Ornamen tradisonal bersifat kolektif.
d.Ornamen modern atau Kontemporer yaitu karya seni ornamen yang merupakan
hasil kreasi atau ciptaan seniman yang baru dan lepas dari kaidah-kaidah
tradisi, klasik atau primitif. Ornamen ini bersifat individu. Poses dan
terciptanya seni ornamen modern terkadang bertolak atau mengambil inspirasi
dari seni primitif atau tradisional atau merupakan hasil inovasi/kreativitas
seniman secara pribadi, sehingga karya yang tercipta merupakan cerminan pribadi
senimannya.
Adanya berbagai corak dalam seni ornamen bukan berarti antara corak yang
satu dengan yang lainnya mempunyai nilai estetis atau nilai kegunaan lebih
tinggi atau lebih rendah, karena masing-masing corak memiliki keunggulan
karakter, ciri, dan nilai estetika tersendiri, perbedaan corak tersebut hanya berdasarkan
pada periode perkembangan, tampilan fisik, dan sifat penciptaannya. Sedangkan
menyangkut kegunaan dan nilai estetis pada dasarnya adalah sama. Adanya
anggapan bahwa suatu corak lebih baik dari corak lainnya semata-mata karena
selera individu.
TEKNIK PERWUJUDAN/PENGGAMBARAN ORNAMEN
Beberapa cara atau gaya yang dijadikan konsep
dalam pembuatan karya ornamen adalah sebagai berikut:
a.Realis atau naturalis pembuatan motif ornamen yang berusaha mendekati
atau mengikuti bentuk-bentuk secara alami tanpa melalui
suatu gubahan, bentuk-bentuk alami yang dimaksud berupa bentuk binatang,
tumbuhan, manusia dan benda-benda alam lainnya.
b.Stilirisasi atau gubahan yaitu pembuatan motif ornamen dengan cara
melakukan gubahan atau merubah bentuk tertentu, dengan tidak meninggalkan
identitas atau ciri khas dari bentuk yang digubah/distilirisasi, atau dengan
menggayakan bentuk tertentu menjadi karya seni ornamen. Bentuk-bentuk yang
dijadikan inspirasi adalah binatang, tumbuhan, manusia, dan benda alam lainnya.
MOTIF DAN POLA PADA ORNAMEN
a.Motif Geometris.
b.Motif tumbuh-tumbuhan.
c.Motif binatang.
d.Motif manusia.
e.Motif gunung, air, awan, batu-batuan dan lain-lain.
f.Motif Kreasi/ khayalan
Bentuk ragam hias khayali adalah merupakan hasil daya dan imajinasi manusia
atas persepsinya, motif mengambil sumber ide diluar dunia nyata. Contoh motif
ini adalah : motif kala, motif ikan duyung, raksasa, dan motif makhluk-makhluk
gaib lainnya.
Sedangkan yang dimaksud pola adalah suatu hasil susunan atau
pengorganisasian dari motif tertentu dalam bentuk dan komposisi tertentu pula.
Contohnya pola hias batik, pola hias majapahit, jepara, bali, mataram dan
lain-lain.singkatnya pola adalah penyebaran atau penyusunan dari motif-motif.
Pola biasanya terdiri dari :
a.Motif pokok.
b.Motif pendukung/piguran.
c.Isian /pelengkap.
Penyusunan pola dilakukan dengan jalan menebarkan motif secara
berulang-ulang, jalin-menjalin, selang-seling, berderet, atau variasi satu
motif dengan motif lainnya. Hal-hal yang terkait dengan pembuatan pola adalah :
a.Simetris yaitu pola yang dibuat, antara bagian kanan dan kiri atau atas
dan bawah adalah sama.
b.Asimetris yaitu pola yang dibuat antara bagian-bagiannya (kanan-kiri,
atas-bawah) tidak sama.
c.Pengulangan yaitu pola yang dibuat dengan pengulangan motif-motif.
PENGERTIAN ORNAMEN(ORNAMENT)
Ornamen adalah setiap hiasan bergaya geometrik atau bergaya lain, ornamen
dibuat pada suatu bentuk dasar dari suatu hasil kerajinan tangan (perabotan,
pakaian dan sebagainya) termasuk arsitektur. Dari pengertian tersebut jelas
menempatkan ornamen sebagai karya seni yang dibuat untuk diabdikan atau
mendukung maksud tertentu dari suatu produk, tepatnya untuk menambah nilai
estetis.
Dalam hal ini ada ornamen yang bersifat pasif dan
aktif. Pasif maksudnya ornamen tersebut hanya berfungsi menghias, tidak ada
kaitanya dengan hal lain seperti ikut mendukung konstruksi atau kekuatan suatu
benda. Sedangkan ornamen berfungsi aktif maksudnya selain untuk menghias suatu
benda juga mendukung hal lain pada benda tersebut misalnya ikut menentukan
kekuatanya (kaki kursi motif belalai gajah/motif kaki elang)
Pendapat lain menyebutkan bahwa : Ornamen adalah pola hias yang dibuat
dengan digambar, dipahat, dan dicetak, untuk mendukung meningkatnya kualitas
dan nilai pada suatu benda atau karya seni. Ornamen juga merupakan perihal yang
akan menyertai bidang gambar (lukisan atau jenis karya lainnya) sebagai bagian
dari struktur yang ada didalam. (Susanto, 2003). Pendapat iniagak luas, ornamen
tidak hanya dimanfaatkan untuk menghias suatu benda/produk fungsional tapi juga
sebagai elemen penting dalam karya seni (lukisan, patung, grafis), sedangkan
teknik visualisasinya tidak hanya digambar seperti yang kita kenal selama ini,
tapi juga dipahat, dan dicetak.
Dalam perkembangan selanjutnya, penciptaan karya seni ornamen tidak hanya
dimaksudkan untuk mendukung keindahan suatu benda, tapi dengan semangat
kreativitas seniman mulai membuat karya ornamen sebagai karya seni yang berdiri
sendiri, tanpa harus menumpang atau mengabdi pada kepentingan lain. Karya semacam dikenal dengan seni
dekoratif (lukisan atau karya lain yang mengandalkan hiasan sebagai unsur
utama).
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa: ornamen adalah salah
satu karya seni dekoratif yang biasanya dimanfaatkan untuk menambah keindahan
suatu benda atau produk, atau merupakan suatu karya seni dekoratif (seni murni)
yang berdiri sendiri, tanpa terkait dengan benda/produk fungsional sebagai
tempatnya.
Saturday, February 5, 2011
mencari perspektif dari refleksi kaca
MAAF : untuk yang ini saya sedang menelitinya mungkin ini adalah suatu hal yang baru karena untuk mencari teori ini belum ada yang yang menulisnya,
Friday, February 4, 2011
perspektife udara
perspektife udara di sebabkan oleh pengaruh udara, obyek-obyek yang terletak jauh, berubah nuansanya, menjadi kebirubiruan, dll. dan dengan bertambahnya jarak, kejenuhan warna menjadi berkurang.
Subscribe to:
Posts (Atom)
mylogo product
check my folio ( ">https://99designs.com/users/731428 ) for Logo Design?
About this blog
> nb ; jangan cuma bisa membuat karya visual yang bagus, analisa sangat penting di dalamnya. teori juga bagus untuk pertanggungjaawaban karya.
assalamualaikum wrb, hom suastiastu, salam damai sejahtera, salam piss, salam metal, salam semua etnis di dunia, semua aliran, semua ras, salam tradisi, salam budaya. salam dunia selalu.
facebooku
facebooku
all about design & original